Minggu, 31 Juli 2011

" RAHASIA HATI" --dimuat di KARTINI no 2448, Juli 09

" RAHASIA HATI" --dimuat di KARTINI no 2448, Juli 09


Aku terus membacanya, menyimaknya, berlama-lama, berulang-ulang, berharap kata-kata itu akan kehilangan maknanya, tetapi ternyata tidak demikian. Rasa pedih dan luka yang tertoreh rangkaian huruf itu tidak pernah menjadi hilang. Terus menyatakan secara tegas, kekuatan maknanya.


Date : 10 Maret 2009 16:15:24 –0000

From : “Hardyantito”

To : Sweetest-june@hotmail.com

Subject: (none)


Aku berada di sebuah kafe sesorean dan semalaman tadi, dihadapanku, secangkir kopi amat pahit; sejumlah gadis melintas, slender, wangi, mengkilat seperti porselen yang rapuh, jelita seperti boneka. Gerimis di luar, kupikir aku kesepian. Aku merasa seperti seekor laron, memburu hangat dan cahaya, lalu menbentur-bentur dinding kaca untuk kemudian mati dalam bahagia.


Ketika kunyalakan rokok, kau melintas di antara ujung rokok dan korekku yang menyala. Dimanakah kau? Setelah hembusan pertama, kusadari ketololanku, kau ratusan kilometer dariku, dalam sebuah rumah, dimana kutinggalkan kau dengan sederetan tanya yang panjang. Aku pergi darimu, meninggalkanmu. Dan membiarkanmu dalam keterlukaan, tenggelam dalam harapan-harapan.


Kau menghantuiku, tiap kali aku memalingkan wajah, tiap kali aku menoleh, aku melihatmu, diam dalam wajah cemasmu, aku melihat matamu basah oleh air mata, aku mendengar isakmu, aku mendengar kau memanggilku, kau sungguh menghantuiku.


Aku sering merasa kangen sekali, seberapapun aku baik-baik saja, aku merasa ada yang selalu hampa sejak saat itu. Aku sangat kuat dulu, nyaris mencukupi untuk diriku sendiri. Bertahan dalam kesendirianku, baik-baik saja, dan berbagi dengan orang lain tanpa harus membebaninya dengan sejumlah janji. Tapi tidak lagi setelah kutemukan engkau, dan kemudian diri kita saling berjanji, tubuh kita saling berjanji. Namun aku juga yang mengingkari sejumlah janji-janji itu, lukaimu, sakitimu. Dalam sekian lama kealpaan ini, maukah kau bukakan kembali pintu jalan pulang ke hatimu?


Aku bertahan dari detik ke detik, aku menyentuh urat nadiku selama berpuluh-puluh menit, bertanya-tanya, kenapa ia bisa bertahan dari detak ke detak? Aku menarik nafasku dalam-dalam, mencoba membaca desir darah yang mengalir dalam tubuhku. Aku akan bersumpah, aku akan menemukan cara dan tak ada orang lain yang bisa menghentikan cintaku padamu, tidak juga kau.


Hujan masih turun, Primadhesty, menggerimis di luar jendela, aku merasa amat nelangsa. Aku telah berdoa untuk kita, juga untuk diriku sendiri, agar selamat dari kebencian dan rasa sakit dari manapun datangnya.


Aku lelah bercakap sendirian, aku menginginkanmu, aku sekarat tak habis-habis. Bukakan aku jalan pulang kepadamu, Primadhesty. Aku berharap kau menerimaku kembali, untuk saling berbagi lagi, dan menjadikanku laki-laki yang tidak bicara pada dirinya sendiri. Maafkan aku.


Aku mencintaimu, sepenuh hati dan pikiranku.

Hardyantito

Ah, cemas ini bangkit lagi, menggelembung memenuhi ruangku, penuh,padat dan siap meledak. Aku merasa saat inilah kita menyelesaikan kisah yang mengambang ini, tito. Kehadiranmu kembali (setelah berbulan pergi) melalui email tadi memberi ruang pada hatiku untuk merasakan sakit dan kerinduan sekaligus, terselip satu sama lain. Sementara jasadku cuma bisa terdiam di sini, merenungi hari-hari kemarin hidupku.

Aku begitu mengingatnya dulu, ketika kau akan menyampaikan kejutan termanis (begitu manis, kau bilang) untukku. Masih kurasakan suasana hatiku saat itu, berbahagia atau sesungguhnya kecemasan yang seharusnya ada? Kedua hal itu silih berganti menghantui, yang terus hidup bertahun-tahun di dalam diriku, membangun rumahnya sendiri dan selalu saling berlomba memperebutkan singgasana terbesarnya. Aku menggeliat, letih.


Ketika itu kau akan menghamparkan permadani terindah lalu memintaku untuk menapakinya bersama, menuju istanamu, yang selalu kudamba sekaligus kutakuti. Hatiku tergetar. Kumohon dalam hati agar jangan memintaku kala itu, karena aku masih seorang pengecut. Mengaku menjadi perempuan yang membutuhkan pasangan hidup, sekaligus bersembunyi ketika jemarimu datang bersambut. Aku tahu hal itu adalah kesempatan untuk diriku sendiri, betapa ingin tak ada lagi kekalahan sebelum bertanding. Mempersiapkan segala perisai untuk menepis tebasan pedang dari arah manapun dalam arena pertempuran ini. Namun mesti dari apa ia terbuat, agar hatiku tak mudah berdarah?


Aku mengingatnya dengan sangat baik, setiap detilnya, bagaimana kau mencumbuiku ketika itu, dan merelakan kurelakan pagutan bibirmu yang panas dalam kekecewaan yang berusaha kau tutupi di sebalik wajahmu. Namun matamu memerah, menahan gejolak yang kuyakin itu luar biasa. Aku memahaminya, kau laki-laki normal.


Kugenggam jemarimu yang masih tersembunyi di lekukan dadaku, berlamalah disana, dan kau akan tahu aku adalah perempuan yang menjadi matang dalam kepasrahan. Namun kemudian aku cuma mengusap rambutmu, meremasnya, untuk meredakan jeritan perempuanku. Seketikaa ku memberikan jarak pada lautan hasrat yang tumpah, jangan dekat-dekat padaku.aku takut hanyut! Kemudian kau memelukku, dan kau bilang betapa bangganya kau padaku karena sanggup bertahan menajaga keperawanan. Ah...! Tenggorokanku tercekat. Ya Tuhan, harus dari mana kumulai untuk menumpahkan beban berat yang tersimpan bertahun-tahuhun ini? Sangguplah jika kubagi denganmu, Tito? Mampukah kau menanggungkannya kemudian? Saat itulah pangkal segala kekhawatiranku dimulai, resahku bertahun, galauku yang berkepanjangan.


Dan sore itu dengan wajah secemerlang bulan dan dengan cinta yang pecah di matamu hingga binar-binarnya begitu bercahaya, kau menggenggam jemariku erat-erat. Dan sampai jugalah pada ketakutanku yang pekat, kau memintaku untuk bersedia menikah denganmu beberapa bulan ke depan, dan menanti jawabku.


Aku terbentu-bentur oleh gemuruh itu, seharusnya aku bersandar di pelukmu, dan kita akan menjadi sangat hangat, namun kali itu aku sibuk menentramkan perasaanku. Tahulah kini aku harus bertempur dengan apa. Ketegangan lain mulai merambah perlahan ke seleuruh sel-sel utbuhku. Aku mengejang. Aku bagaikan patung yang bernyawa. Betapa ingin kau menangkap anggukan kepalaku mengiyakan, tapi ketika itu aku cuma bisa termangu. Aku demikian takut, sebentar aku akan kehilanganmu. Maka bersiaplah, Tito, gelegar petir ini akan menghanguskan kita berdua.Tapi masih saja aku menyelinap ke dalam pupil matamu, berharap menemukan ketidaksungguhan di sana. Karena aku yakin sebesar kesungguhan itu sendiri, bahwa kau tidak sedang melontarkan guyonan segar di sore hari seperti yang biasa kita lakukan. Ah, Tito, aku akan kehilangan kemesraan itu. Aku tahu. Maka aku bertambah siap.


“Tito...” hanya itu yang pertama kali kuucapkan.

Kau menatapku lekat, seakan kau tahu aku meragukan sesuatu. Melihat geletar matamu, kau menyampaikan pesan untuk membuatku berani bicara. Untuk berani kehilanganmu juga?



“Aku...sudah nggak lagi perawan....seseorang di masa lalu.....” mengambang suara ini. Tidak ada serak di situ, bening jernih , sejelas maknanya. Hanya berubah menjadi pedang yang berkilat-kilat, berkelabat di antara aku dan kau, siap menebas kita, berdarah.



Jemariku masih dalam genggamanmu, tapi ia terkulai di sana. Seakan tidak bernyawa, tak ada sel dan otot yang hidup di situ, ia mati sebelum segalanya terjawab, sebelum pencabut jiwa itu beranjak sambil mencengkeram hati yang telah menjadi kepingan dalam telapak tangan.



Mulai dari jemari ini, aku melepasmu, Tito. Aku merasakan lunglai lengan ini dijatuhkan perlahan. Kau enggan menyentuhku, pun hanya pucuk jemari ini. Seperti dugaanku, tepat sama dengan skenario yang ada dalam benakku, tokoh lelakinya tidak akan menerima ketidakperawanan perempuannya. Tapi tidak seperih ini, sekeji tatapan yang begitu dingin. Maki aku saja, Tito. Atau tunjuk-tunjuk mukaku, sekalian umpatan kau keluarkan saja. Aku mungkin tak layak kau perlakukan seharum bunga, maka maki aku saja, aku pun tidak ingin menjadi bunga seharum apapun.


Aku adalah seorang perempuan yang juga dari kumpulan organ tubuh, kulit, daging yang selalu membuat kalian laki-laki bisa berubah menjadi seekor binatang tanpa bantuan tongkat penyihir. Tapi seperti apapun tubuh ini bisa membuatmu menjadi apa saja, aku tetap seseorang yang punya jiwa, punya nurani. Jika bagimu aku hanya semata kenikmatan berbelut kulit maka pergilah ke neraka! Oh tidak! Tapi aku sendiri kini yang tengah meniti jalanku menuju jurang yang siap melumatkan seluruh tubuh yang memendam amarahku ini.


Aku marah karena dugaanku selalu saja benar. Kenapa kau tidak bertanya kepadaku, bagaimana hal itu terjadi, seperti apa, siapa yang melakukannya, apa saja, lalu kau korek-korek saja luka lamaku ini, toh sudah kubuka pembalutnya yang mengusang, kuperlihtakan lubangnya yang menganga.Kemana sekarang Tito yang kukenal, yang selalu mengutamakan kejujuran dan keterusterangan sebagai dasar hubungan ini? Maka jangan memandangku dengan dingin, kau malah menjadi bukan manusia dengan mata seperti itu ) Oh, bukankah aku bisa menjadikanmu apa saja?). Ambil luka ini, buatlah melebar, lalu pergilah tanpa pernah mengganti pembalutnya. Tapi jangan diam. Atau beginikah caramu memaknai luka? Menatapnya tanpa ampun?


Aku yakin takkan lagi kudengar suaramu, yang selalu membasahi kering hatiku. Sebesar keyakinanku bahwa kau pun akan pergi menjauh, menghilang seakan kau punya tempat yang jauh di bawah bumi, tak terjangkau. Bolehkah kita bertukar tempat? Ijinkan aku saja yang tinggal di sana. Hingga tak lagi kurasakan langit di atasku bisa runtuh sewaktu-waktu, juga tak bisa kutaburkan bintang karen aaku tak punya tempat untuk menggantungkannya, agar aku tak lagi punya harapan yang tidak mungkin.


Kau benar – benar pergi. Ingin kau tunjukkan lukamu padaku bahwa kau tersakiti lebih dalam dibanding aku? Maka aku akan membiarkanmu terluka pula, tak ada yang harus aku balut. Tidak dengan berlari mengejarmu dan memohon untuk kau tetap tinggal di sisiku, memohon cintamu, menyodor- nyodorkan seribu satu kebaikanku sebagai seorang perempuan, kelebihanku sebagai istrimu kelak, lebih dari sekedar selaput dara yang terkoyak di malam pertama. Aku akan mengikuti caramu memperlakukan luka kita, dengan diam tak bergeming. Maka pergilah. Aku sudah menyiapkan tiap jengkal tubuhku untuk memperlebar lukanya jauh sebelum bertemu denganmu, lama sebelum kau melukai aku. Aku kuat Tito. Kadang rasa marah membuat seseorang menjasi kuat. Aku tidak pernah merasa sekuat ini sebelumnya.


Kehilangan demi kehilangan adalah sebuah garis panjang yang melilit hidupku dan peristiwa Edwin adalah kegagalanku yang kesekian di masa lalu, aku tidak ingin menambah panjang daftar ini lagi. Kau pun mungkin akan pergi seperti dia, Tito. Setelah sekian lama cinta ini dipersembahakan kemudian dia akan lenyap begitu saja tak bersisa, pun hanya sekedar menorehkan namaku.


Edwin, adalah laki-laki yang megetuk pintu hatiku, ketika kerontang sedang memenuhi relung-relungku. Dan disitulah segalanya tumbuh, kepercayaan diriku sebagai seorang perempuan yang berharga dan berarti, berakar dan menguat untuk kemudian menjadi begitu rindang. Tapi segala apa yang telah menjadi besar ternyata belumlah cukup, ia masih bisa begitu saja meninggalkan aku ketika kucoba menceritakan sebuah kebenaran atas masa laluku. Namun aku tidak menyalahkan yang menjadi keputusannya. Siapapun takkan semudah itu sanggup menerima kenyataan, bahwaa aku, calon istrinya, yang akan dinikahinya dengan begitu pasti adalah seorang perempuan yang tidak lagi memiliki kesempurnaan sebagai seorang perempuan. Aku tidak lagi perawan.


Edwin pergi seketika dan aku hanya bisa limbung, tanah tempat pohon rindangku longsor sebagian, aku kembali penuh diliputi kecemasan, ketakutan, keputusasan...masih berhargakah aku sebagai seorang perempuan?Ketika aku sampai pada titik ini, dimana segalanya mengabur dan aku hanya seorang yang tersesat di ujung jalan gelap dan buntu, maka aku hanya bisa menyanyikan lagu yang penuh dengan kutukan dan makian. Dan dendang itu selalu aku persembahkan kepada seorang laki-laki lain yang tak habis-habis menggulung ingatanku, dengan semacam pedih yang membuntutiku seperti bayang-bayang.


Revan, laki-laki lain itu, sembilan tahun yang lalu, ia tikamkan belati itu, dalam-dalam di antara dua kakiku. Dan dari sana bukan cuma darah yang pecah tetapi juga keutuhanku.Ia menciumku malam itu, ciuman yang bukan pertama, tapi toh aku perempuan dan ia laki-laki. Aku mendengar debur di dadanya, juga debur dalam dadaku, tempat dimana telapak tangannya menyusur perlahan dengan hausnya yang makin memuncak. Ada geletar panas, yang menjadi begitu mengerikan menjalar dari jemarinya merambah ke dalam tubuhku. Aku tersentak akan cengkeramannya di setiap bagian tubuhku yang tergenggam, memberikan aku kesadaran bahwa gelomabng hasrat ini harus segera dihentikan. Perlawananku kemudian adalah suatu kesia-siaan. Jemarinya menelusup paksa dan merenggut kelopak mahkotaku, meraih teratai merah yang tersimpan di dalamnya. Tangkainya patah dan darah mengalir dari sana, membanjiri separuh hatiku yang mati seketika, sementara ia terus menikam-nikam membunuh tiap bagian diriku berulang kali sebelum kemudian ia meledak, dan jiwaku berkeping-keping.


Setajam apapun luka yang diberikan pada masa laluku, aku berusaha keras mendandani hatiku. Agar kelak ada hal lebih baik yang bisa kutawarkan pada diriku sendiri. Aku melihat waktu akan terbentang teramat oanjang di depanku, kau memaksaku untuk bertaruh atas keberadaanku sebagai manusia, ketika kau tempatkan aku pada posisi ini. Apakah keikhlasan yang akan menang atau kebencian, aku cuma ingin salah satu dari dua kemungkinan itu saja. Namun aku tidak ingin melupakannya, semua yang telah kita tempuhi bersama, sakit dan bahagia itu. Akupun juga ingin utuh dan bulat, aku tidak ingin mati tanpa makna, sudah terlambat untuk surut.



Maka Tito akan kujawab e-mailmu.

Compose. Klik!


Ternyata aku punya harga diri lebih dari penghargaanku kepada diriku sendiri. Yang sekian tahun tidak pernah aku rasakan. Sekian tahun aku didera oleh kehinaan atas diriku, lalu mencoba meletakkan diriku sertinggi-tingginya di pucuk menara orang lain. Tapi tidak di menara milikku yang seharusnya kubangun dari kekuatanku diri.Bartahun aku mengobati lukaku dengan mencoba untuk tidak pernah marah, tetapi menerima dengan penuh kebaikan atas luka- luka yang lain begitu saja. Aku tidak membalut lukaku dengan erat, memberinya obat yang menimbulakan perih sekalian yang kemudian akan mengering. Tapi kubiarkan kuusap dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, seakan kupelihara luka itu dengan sangat baik untuk terus hidup dan tumbuh bersamaku.Seseungguhnya kau melakukan banyak hal dalam diammu, Tito. Kau menampar-nampar mukaku untuk membuatku terbangun dari cengkeram ini. Kau membuatku punya rasa marah dan menghentakkan bahwa aku harus tidak terima atas penghinaan dari manapun. Kau tahu bagaimana rasanya menjadi berarti? Walau tanpa siapapun yang menegaskan keartian adaku?

Inilah artinya ,Tito. Aku terus tumbuh dan hidup tanpa air mata penyesalan (meski kau tak ada). Aku tak lagi punya ketakutan, tak lagi merasa terbelah, aku merasakan keutuhan ku dan aku bahagia.Jauh di atas pencapaian kebahagiaan itu adalah kesadaranku bahwa kau yang menemukanku. Maka melaui e-mail ini aku ingin mengucapkan terimakasih kepadamu, untuk berbuat hal ini padaku.


Kau bisa membayangkan apa jadinya bila kau tidak membuatku marah ketika itu? (Aku menyembunyikan marahku padamu,kau tak tahu, aku lebih marah daripada engkau). Maka aku akan menjadi perempuan yang paling nelangsa, menghabiskan waktuku dengan berurai air mata selama berbulan-bulan tanpa engkau, bahkan mungkin akan memotong nadiku dan berubah menjadi hantu atau mungkin kunikmati saja sekalian ketidakutuhanku dengan bercinta bersama siapapun. Kutunjukkan pada laki-laki...aku masih saja bisa nikmat meski tidak lagi perawan! Tapi Tito, bagaimanapun juga aku ingin menjadi baik, walau aku orang yang sangat punya alasan untuk menjadi sebaliknya.


Banyak hal yang membuatku mesti berterimakasih padamu. Juga tentang pertahananmu agar kita saling bercinta. Jangan salah paham akan hal ini, Tito. Aku tidak ingin memanipulasi penilaianmu kepadaku ketika itu, bahwa aku seorang perempuan yang suci. Tapi aku lebih mengkawairkan hal yang lain, yaitu kenikmatan yang akan kita rasakan bisa membuatmu lupa untuk sungguh-sungguh memperhitungkan ketidakperawanan ini. Kau terbuai oleh kenikmatan ini. Namun ketika tiba saatnya kita membangun rumah tangga, barulah kau tersadar betapa kau menginginkan hal yang tidak ada padaku itu. Lalu akan timbul sejumlah penyesalan, kenapa dulu kau tidak memperistri seorang yang masih perawan saja? Bisa saja kemudian kau mulai gampang memakiku setiap akli aku punya kekuarangan dan kekhilafan sebagai seorang istri, setitik salahku akan begitu cacad di matamu.


Kau melakukan hal yang benar, Tito. Meninggalkan aku saja sekalian dari pada menghiburku dengan kata-kata manis yang sebenarnya untuk dirimu sendiri. Kau bisa memanipulasi cintamu yang sesungguhnya. Kau bersikap sangat sempurna, tinggalkan aku, itu pilihan yang terbaik.


Setidaknya, sampai saat ini kita melakukan banyak hal kebaikan untuk hidup kita kelak, bahwa kita tak pernah memanipulasi sedikitpun yang ada pada hati kita. Inilah makna kejujuran yang paling hakiki, jujur pada diri sendiri. Dan aku yakin, kau akan menemukan jalan pulang, tidak padaku, namun di tempat yang lain.


Atas seluruh hatiku

Primadhesty Chandrasekar



P.s. Aku tidak ingin tidak memafkanmu. Aku tidak ingin perasaan lembut ini hilang, yang selalu membuatku begitu bahagia. Lukaku akan sembuh, Tito, untukku, untuk kita, apapun ‘kita’.

Send. Klik!

******

Susy Ayu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar